Sebuah perkumpulan bisnis illegal di mana
‘Master’ sebagai penguasa adalah dalang dibalik preman-preman pasar yang kerap
kali menagih uang parkir atau iuran keamanan. Sistem pemungutan dilakukan
setiap harinya, melibatkan preman-preman penagih, ketua pasar sebagai pemimpin
preman di pasar, bos sebagai pemimpin ketua pasar, dan Master adalah tombak
terakhir dari bergulirnya uang hasil tagihan harian.
Suatu hari seorang preman baru--Safir
namanya--tengah kelimpungan mencari harap-harap hijau guna membiayai persalinan
sang isteri, bertugas di pasar kecil pinggiran kota dengan seorang ketua pasar
yang berlaku seenak jidat. Hanya tahu menyeruput secangkir kopi ditemani
tontonan sinetron setiap hari, tanpa peduli keluh kesah dari pengunjung pasar
yang kehilangan helm, ditipu oleh penjual, bahkan kecopetan. Ketua pasar—Bang
Cogah orang-orang menyebutnya-- macam centeng tinggal tumpang kaki, menagih
uang sebagai gaji, dipinjam uang lokek sekali.
Bujukan juga rayuan memelas meminta belah
kasihan Safir tak di dengar sama sekali oleh Bang Cogah, Padahal uangnya
banyak, seringkali melipat tagihan dari preman-preman sebelum disetorkan pada
si Bos. Bang Cogah malah menyarankan ikut ke tempat setoran, memohon pinjaman
pada si Bos barangkali mendapat secercah harapan.
Sore menjelang malam, para ketua pasar
berkumpul di markas seperti biasa mengumpulkan setoran lantas mendapat upah.
Sesuai saran Bang Cogah, akhirnya Safir ikut. Menyaksikan para ketua dari
berbagai pasar menghitung uang sambil menunggu persiapan khusus dari Si Bos.
Anak buah Bos menyiapkan nampan panjang berisi amplop-amplop yang sudah diberi
nama, dibagikan pada ketua pasar untuk diisi oleh uang setoran lantas
dikumpulkan kembali.
Bos yang sedang mengawasi dihampiri
Safir—masih memohon untuk diberikan pinjaman membiayai persalinan isteri. Tapi
lagak bos yang congkah malah memaki, mengusir Safir yang tidak berguna sebagai
preman baru. Safir sudah kehabisan akal, dalam diam perlahan ia memerhatikan sekumpulan
amplop berisi uang setoran. Sekali anak buah Bos lalai, Safir mencuri dan
berlari tunggang-langgang.
Sayangnya, Safir seorang diri kalah dengan
anak buah bos berjumlah puluhan. Safir dibabi-buta sampai memar disekujur tubuh
lantas diserahkan pada si Bos untuk dieksekusi karena mencuri. Tapi Bos tidak
mempunyai wewenang akan hal itu, maka ia memanggil Master sebagai penguasa yang
tak pernah menampakkan wajahnya untuk meng-eksekusi Safir. Tentu saja Safir
ketakutan setengah mati lantas berteriak adu mulut, mempertanyakan hierarki
mencuri dengan melipat uang. Di matanya sama-sama merugikan, tapi kenapa hanya
Safir yang dihukum? Kenapa Bang Cogah yang sudah bertahun-tahun melipat uang,
bila dihitungkan jumlahnya lebih dari yang Safir curi tidak mendapat hukuman
sama sekali?
Bos tetap menyangkal, karena perbuatan
Safir dianggap lebih fatal dan lebih merugikan daripada Bang Cogah.
Hingga akhirnya rombongan ‘Master’ muncul,
tapi yang muncul hanya beberapa pengawal membawa sebilah pisau tajam semacam
belati. Pengawal bertanya tentang siapa yang akan dhukum potong jari, maka Bos
menunjuk Safir. Belati di arahkan pada Safir, namun yang terjadi membuat semua
orang terkejut.
Safir membawa belati dari pengawal, menarik
lengan bos lantas memotongnya tanpa ampun sebagai hukuman dari ‘Master’ karena
Bos selalu mengurangi setiap setoran untuk kepentingan pribadi dan mengkhianati
‘Master’ sebagai penguasa. Safir—yang ternyata merupakan seorang ‘Master’
secara nyata mengetahui bahwa hampir semua anak buahnya, bermain kotor dengan
mengorupsi uang setoran, ‘Master’ murka sejadi-jadinya.
Namun, saat situasi tenang kala Safir atau
Master bergeming. Satu todongan pistol mengarah pada tengkorak belakang Safir,
pengawalnya kali ini yang berkhianat. Atau lebih tepatnya polisi yang menyamar
menjadi pengawal selama berbulan-bulan untuk memata-matai Safir atas tuduhan
kekerasan, pemerasan, penggelapan uang, juga pemalsuan identitas. Safir
tersenyum, menyadari bahwa sebagai penguasa, tindakan illegal terasa mudah
dilakukan, walau akhirnya hukum yang maju untuk melawan.
Penulis : Qisthy Anjani KPI 6D
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar