Blogger news

Tenun Tak lagi Mendunia, Kemana Perginya Kota Petro Dollar Majalaya?

Sumber Foto: Instagram @lestari_tenun_atbm
"Kota dollar" Majalaya kian lenyap ditelan jaman. Dengan kemakmurannya julukan tersebut diberikan karena Majalaya menjadi kota tekstil yang terkenal tidak hanya di Indonesia bahkan dunia pada tahun 1940 an.  Pada tahun  1928, empat gadis yang dikirim ke Bandung sebagai pelopor melejitnya tekstil di Majalaya yakni, Emas Mariam, Endah Suhaenda, Oya Rohana, dan Cicih. Bangunan yang kini menjadi Sekolah Tinggi Tekstil di Bandung, dulunya digunakan mereka untuk belajar membuat kain tenun di Textile Inrichting Bandeng yang didirikan Belanda pada tahun 1921. (merdeka.com

Sejarah masa keemasan yang terukir di Majalaya sebagai Kota Tekstil mampu menghasilkan aneka ragam produk tekstil seperti sarung, kain untuk bahan pakaian, handuk, benang, kain kasur dan lain-lain. Majalaya mencapai puncaknya pada awal 1960-an. Dilansir dari ppid.bandungkab.go.id, industri tekstil Majalaya memproduksi 40 persen dari total produksi kain di Indonesia. Akhir 1964, Majalaya menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin (ATM) di Jawa Barat. Hampir seluruhnya terkonsentrasi di Desa Majalaya dan Padasuka (saat ini dimekarkan menjadi tiga desa: Sukamaju, Padamulya, dan Sukamukti).(Palmer, 1972 dan Matsuo 1970). 

Sempat dikuasai Hindia-Belanda pada abad ke-19, namun tidak bertahan lama karena terkena imbas akibat adanya krisis keuangan dunia. Namun demikian, pengusaha-pengusaha lokal mulai bermunculan pada pertengahan abad ke-20 tepatnya tahun 1930-an. Mereka mulai mendirikan Industri tenun rumahan menggunakan tustel (alat tenun bukan mesin). Buruh-buruh pabrik bersaing secara sehat untuk mendirikan usaha tenun sendiri saat pasar-pasar semakin terbuka dan merebak. Kesempatan tersebut dimanfaatkan mengingat bahan baku dan modal untuk alat yang digunakan masih terbilang murah. Berjalannya masa ke masa menjadikan industri tenun rumahan semakin marak dimana-mana bahkan hampir setiap penduduk Majalaya membuka usaha tenun sendiri. 

Industri tekstil Majalaya mengalami kemunduran, bom yang mematikan bagi industri tekstil milik pribumi terjadi pada saat peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru (1965-1979). Para pengusaha tidak mampu bersaing dengan para pengusaha tekstil Cina. Baik dalam manajemen, marketing, penguasaan pasar, maupun permodalan. Masa kejayaan yang telah mereka perjuangkan dengan penuh ketekunan, semangat, dan keuletan kini tengah hilang. Para pribumi beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Saat itu, pemerintahan RI di bawah kendali Soeharto menerima bantuan dari International Monetery Funds (IMF) dan mengeluarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Disusul setahun kemudian dengan dikeluarkannya UU No. 6 tahun 1968 mengenai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). (ppid.bandungkab.go.id

Jati diri tenun tradisional menjadikan para pengusaha tenun tidak patah semangat, buktinya budaya tenun tradisional Indonesia alat tenun bukan mesin (ATBM) masih bertahan hingga saat ini di Majalaya disamping sengit nya persaingan dan eksistensi mesin tekstil yang merenggut ketenaran kain tenun tradisional. Para pengusaha berusaha mempertahakan dan menyesuaikan pasar di era ini dengan tantangannya yang serba digital. Pengembangan variasi dan inovasi terus dilakukan untuk menarik kembali konsumen sampai ke pasar ekspor untuk mengembalikan Majalaya sebagai sentra tekstil nasional seperti dahulu kala. 

Merebaknya produk-produk luar negeri tidak mematahkan semangat para pengrajin tenun di Majalaya. Sampai saat ini, meskipun maraknya teknologi mesin industri tenun Majalaya masih  mempertahankan metode tradisional. 

Zennita Meida Abdillah 
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo