Belakangan ini, negara kita, Indonesia tengah dilanda tantangan yang berliku-liku. Bencana di
penghujung tahun semakin bertambah kisruh, menimbulkan luka dan penderitaan yang
mendalam bagi para korban yang hingga saat ini belum dikatakan aman. BNPB menyebutkan,
terhitung sejak 1 Januari sampai 19 Desember 2021 tercatat 2.931 bencana terjadi di Indonesia
dan 1.236 diantaranya adalah bencana banjir.
Meletusnya gunung Semeru merupakan salah satu makna kiasan bahwa alam tengah murka,
sampai beramai-ramai orang menuaikan nama untuk mempermudah penyebutan kejadian
tersebut menjadi ‘Bencana Alam’. Apakah alam meninggalkan bencana untuk kita?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘bencana’ dapat diartikan sebagai ‘sesuatu yang
menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan’. Bukankah alam begitu
menguntungkan untuk kesejahteraan manusia? Lantas mengapa alam harus disalahkan atas
bencana yang terjadi? Bisa jadi, secara tidak langsung, murkanya alam disebabkan oleh manusia
itu sendiri.
1.236 bencana banjir, silih berganti menggenang beberapa wilayah di Indonesia. Bila kita
perhatikan, hampir 80% airnya keruh, menimbulkan bau tidak sedap, serta sampah-sampah
bertebaran di mana-mana. Apakah itu ulah sungai? Sungai yang menimbulkan kerugian serta
penderitaan untuk para korban? Jawabannya adalah tidak.
Apa yang terjadi jika masyarakat peduli terhadap alam, contoh kecilnya adalah sungai di
lingkungan sekitar kita? Tidak pernah meracuni sungai dengan limbah, menjauhkan sampah dari
sungai, membuat saluran pembuangan yang baik, mengadakan kerja bakti pemeliharaan sungai.
Mungkinkah banjir akan tetap terjadi?
Artinya, apa yang alam beri untuk kita, harus kita sadari bahwa alam juga membutuhkan hal
untuk diberi kepadanya, salah satunya adalah bentuk pemeliharaan yang baik. Dengan begitu,
bencana tidak akan lagi menyalahkan alam sebagai penyebabnya. Jadi, Apakah Alam benar
meninggalkan bencana untuk kita?
Penulis : Qisthy Anjani KPI 6D
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar
Posting Komentar