Blogger news

Cerpen Warga Kopid : Aron

Cerpen Minggu Ini : Aron


Semilir angin berembus dari lereng bukit di ujung jalan. Pinus-pinus tinggi memeluk erat kabin kayu yang kini ia pijaki. Lelaki beralis camar itu memasukkan kedua lengannya, berselimut manja di balik kain wol pelindung tubuh guna menghangatkan badan dari sejuknya udara pedesaan. Secangkir kafein menemani raga penikmat senja, terduduk di teras rumah melepas penat kala membelah jalanan hampir kurang lebih lima jam lamanya.  

"Aron." Si manis berkulit langsat teriring langkah menyapa hangat. Bila dilihat dengan seksama, iris hazel yang tersinari lembayung senja nampak cerah—Barly, teman sejawatnya di tahun ketiga menjadi mahasiswa. Cinta dikejar, nilai terlantar. Marah tiada guna, berkeluh kesah apalah daya. Barly kini hanya bisa menemani Aron untuk melakukan riset tugas akhir perkuliahannya. 

Sedikit menoleh, Aron tersenyum mengikuti alur rencana duduk bersama menikmati senja sebelum rutinitas tugas kembali berkuasa. "Pemilik rumah mencarimu," ucap si Barly sembari menyeruput kopi milik sahabatnya, Aron. 

"Beliau ada di mana sekarang?" 

Terlihat menikmati, mulutnya ber-ah usai menyesap sepuluh mili kafein milik Aron. Sembari menaruh cangkir putih di atas meja bundar, lelaki itu berucap, "ruang makan." 

Teringat satu hal, Aron belum berbincang lama dengan sang pemilik kabin kayu di tepi jurang. Menetap selama kurang lebih dua bulan demi melewati syarat bergelar sarjana, memilih tempat ini, sepertinya tak jadi masalah apalagi pria tua itu nampak begitu ramah. Kedutan di samping kumis tebalnya membuat Aron melesungkan senyumn. Sembari berjalan mendekat, ditatapnya pria paruh baya sedikit beruban tengah menghidangkan makanan. Meja kotak berukuran sedang dipenuhi lauk pauk dan sayur-mayur. 

"Bapak mencari saya?" 

Bukan hanya Pak Buyung yang menoleh, Bu Tuti--isterinya yang tengah menggoreng telur ceplok ikut memfokuskan atensi pada Aron. Sedikit menggaruk tengkuk yang tak gatal, Aron semakin mendekat. 

"Duduk, Nak," perintah Pak Buyung. 

Diturutinya perintah itu, bokong pun bersandar pada kursi kayu tua menatap sopan pria yang menghentikan aktivitasnya. "Mau makan dulu, apa mandi dulu?" 

"Bapak sama Ibu siapin semua ini untuk kita?" 

"Lho, kalo orang tua nanya itu ya di jawab, toh?" 

Aron tersenyum kikuk. "Mandi dulu saja, Pak. Badan saya udah kaya cuka pasar." 

"Yasudah, pergilah mandi di halaman samping. Habis itu bangunkan ketiga temanmu, ya?" 

Niat awal ingin mengajak berbincang sepasang pasutri paruh baya yang sukarela mengizinkan Aron tinggal, bersama teman-temannya. Namun, rasa canggung mulai mendominasi, meski begitu, ia tetap menghargai perintah Pak Buyung untuk segera membersihkan diri dan makan bersama. Nuansa sederhana ala keluarga desa, yang hangat akan suka cita.  

Kaki jenjang berbalut kaos kaki putih menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu juga, tiga pintu kamar tercetak di netra, masing-masing berisi dua orang bujang yang terjun ke alam bawha sadar. Dengan menarik kenopi, pintu terbuka menampilkan kamar sunyi karena sang penghuni tengah menghabiskan sisa kopi milik Aron. 

Dilepasnya kain penghangat tubuh, kemudian aktivitas mulai ia lakukan dengan membongkar benda kotak penyimpan barang pribadi. Mengambil sebuah handuk dan kaos hitam polos tak lupa seperangkat alat mandi yang di siapkan bundanya. 

Aron mulai mengayunkan kaki, pikirannya tenang, seolah tempat ini memang cocok untuk fisik dan juga mentalnya, mungkin. Tapi sudahlah, ia tak memikirkan hal lain, hanya terfokus menikmati indahnya alam sembari bergegas menyelasaikan tugas. Karena, malam ini merupakan agenda perencanaan untuk bahan wawancara dan studi kasus lapangan. Menentukan premis bukanlah hal yang mudah, katanya selagi ada tempat terdekat untuk apa Aron jauh-jauh ke desa terpencil. Tapi, itulah tantangannya. Pengalaman tak bisa diakuisisi, hanya bisa diakui selebihnya dinikmati. 

Mari beralih pada gemercik air yang mulai memekikkan telinga, sembari bersenandung tipis, ia bersiap menyegarkan tubuh. Kabin kayu ini memiliki kamar mandi terpisah, tempatnya berada di samping halaman yang mengarah langsung ke kebun mentimun. Bentuknya hanya seperti ruangan biasa yang tak beratap, cukup lampu gantung yang redup berada di dekat pintu. 

Tangan kekar itu mendorong pelan pintu kayu, kala netra menangkap pancuran air deras yang di tampung bak berbahan dasar batu alam, wajahhnya seketika pucat pasi. Detak jantungnya berpacu kian cepat, meski suhu di bawah lereng bukit ini cukup dingin. Namun, keringat kian mengalir begitu deras. Paru-paru seolah menolak untuk bekerja sama, kepala berat beserta perut yang bersiap memuntahkan isinya. 

"KYAAAAAAAA!!"

“ARONNNNN?!!”

Penulis : Qisthy Anjani KPI 6D
UIN Sunan Gunung Djati Bandung 


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© all rights reserved
made with by templateszoo